Jumat, 25 Maret 2011

SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK

PRESENTASI KASUS PSIKOTIK
PRESENTASI KASUS
SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK”

Untuk memenuhi sebagian syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman






Diajukan Kepada Yth:
Dr. Hj. Tri Rini BS, Sp. KJ


Disusun oleh:
Radietya Alvarabie
G1A210023





LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011



LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS PSIKOTIK
SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK”


Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal.….Januari 2011

Oleh:
Radietya Alvarabie
G1A210023




Purwokerto, ….Januari 2011
Pembimbing,

Dr. Hj. Tri Rini BS, Sp.KJ
NIP. 140 150 757





PRESENTASI KASUS
  1. Identitas Pasien
Nama : Nn.S
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Diponegoro 194, RT 3/1, Bumi Ayu
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : S1
Status pernikahan : Belum menikah
Ruang rawat : Sakura VIP 2
No.RM : 156331
  1. Alloanamnesis
Tanggal 8 Januari 2011
Diperoleh dari
I
II
Nama
Alamat

Pendidikan
Pekerjaan
Umur
Hubungan dengan penderita
Lama kenal
Sifat perkenalan
Tn. M. Nanang
Jalan Diponegoro 194, RT 3/1, Bumi Ayu
S1
Wiraswasta
37 tahun
Kakak kandung

±26 tahun
Akrab


Keluhan utama
Nn.S datang ke IGD RSUD banyumas dengan keluhan utama marah-marah.
Keluhan Tambahan
  1. Suka menyanyi sendiri
  2. Suka bicara sendiri yang tidak tentu arahnya
  3. Sulit tidur
  4. Mandi berulang kali dan lama (4-5 kali sehari selama sekitar 1jam)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan marah-marah sejak dua minggu sebelum masuk RSUD. Banyumas. Pasien awalnya mengikuti ujian masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menjadi pegawai Badan Narkotika Nasional (BNN) di Jakarta. Pasien lolos seleksi dan diterima sebagai PNS di BNN. Sejak lulus S1 pasien amat menginginkan pekerjaan yang berhubungan dengan keilmuan S1-nya, sehingga pasien amat senang ketika diterima sebagai PNS di BNN. Namun, di lingkungan kerjanya pasien merasa dikucilkan. Pasien sering diejek sebagai alumni perguruan tinggi yang tidak berstandar dan pihak rektoratnya terlibat korupsi. Akibat perlakuan tersebut pasien merasa sakit hati dan tertekan.
Selama dua minggu terakhir pasien mengaku merasa curiga terhadap orang-orang asing yang ditemuinya. Pasien khawatir akan diejek dan dikucilkan. Pasien mengaku mendengar ejekan dan hinaan dari teman-teman kerjanya, namun menurut pengakuan keluarganya itu hanya persepsi pasien saja. Sewaktu kecil pasien mengaku pernah terjatuh dari ketinggian sekitar 3 meter, namun hal ini diragukan keluarganya. Pada tahun 2007, setahun setelah pasien menamatkan S1 nya, pasien merasa frustasi karena tidak mendapat pekerjaan yang sesuai keilmuanya. Karena permasalahan ini pasien dibawa ke RSUD. Banyumas pada tahun 2007, dengan gejala sama seperti sekarang. Pasien sering terlihat menyanyi sendiri, bicara sendiri, mengajak orang lain bicara tidak tentu arah, jalan-jalan tidak tentu arah, sering melamun, tertawa, dan menangis bila diajak bicara terkait pekerjaanya. Sehingga pasien pada tahun 2007 itu sempat menjalani perawatan di RSUD. Banyumas.
Sekitar dua minggu sebelum masuk rumah sakit pasien sering bicara tidak tentu arah, sering marah-marah tanpa sebab, suka tertawa sendiri, suka mandi berkali-kali dengan lama waktu mandi mencapai sekitar 1 jam, sering menyanyi sendiri, dan sulit tidur. Apabila ditanya sesuatu pasien selalu mengarahkan akan kebencianya pada koruptor dan kesedihanya karena diejek perguruan tingginya tidak terakreditasi dan rektoratnya korupsi. Pasien juga sering tidak betah di rumah sehingga timbul rasa ingin kabur dari rumah. Pasien mengalami sulit tidur, namun nafsu makan tetap baik.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami gejala serupa sebelumnya
  1. Psikiatri
Pasien sebelumnya pernah dirawat di Bangsal Sakura RSUD. Banyumas, dengan gejala yang sama, pada tahun 2007. Faktor pencetusnya adalah stress akibat memikirkan pekerjaanya yang tidak sesuai dengan keilmuanya.
  1. Medis umum
Pasien belum pernah menderita penyakit yang menyebabkan pasien dirawat dirumah sakit. Riwayat kejang demam tinggi, trauma, sakit kepala pagi hari disertai muntah disangkal.
  1. Penggunaan obat-obat dan alkohol
Pasien tidak memiliki riwayat mengkonsumsi obat-obatan maupun alkohol.
Hal-hal yang mendahului sakit :
  • Faktor organis
Penyakit pasien tidak didahului oleh sakit yang menyebabkan pasien dirawat di Rumah Sakit. Pasien tidak mengalami kejang, demam tinggi, maupun benturan.
  • Faktor psikologis
Pasien berhasil diterima bekerja di bidang yang amat ia inginkan. Namun, pasien sakit hati karena diejek oleh teman kerjanya bahwa perguruan tingginya tidak terakreditasi dan rektoratnya korupsi. Pasien juga mengakui amat benci kepada koruptor, dan mengatakan bahwa ia seperti ini karena ulah para koruptor.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien baik dari pihak ayah maupun pihak ibu tidak ada yang mengalami gangguan jiwa dan keluhan yang sama seperti yang dialami oleh pasien. Namun, Kakak keempat pasien pernah mengalami gangguan yang sama seperti pasien.
Silsilah Keluarga








Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Penderita Penyakit yang sama
: Meninggal Dunia

Riwayat Kelahiran
-Pasien lahir normal. Ditangani oleh bidan. Usia kehamilan sembilan bulan. Saat itu Ibu pasien dalam keadaan sehat.
Latar Belakang Perkembangan Mental
-Perkembangan mental pasien sejak kecil baik dan tidak pernah mengalami gangguan.
Perkembangan Awal
-Kesehatan secara umum baik, pasien tidak pernah dirawat di Rumah Sakit karena menderita suatu penyakit.
Riwayat Pendidikan
-Pasien masuk SD umur 6 tahun. Pasien tidak pernah tinggal kelas. Pasien berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 2006.
Riwayat Pekerjaan
-Sejak lulus S1, pasien mencari pekerjaan yang berhubungan dengan keilmuanya namun tidak berhasil. Akhirnya pasien membuka usaha counter telepon seluler pada tahun 2007 hingga kini. Tahun 2010 ini pasien diterima bekerja sebagai PNS di BNN Jakarta. Namun dikarenakan penyakitnya pasien belum bisa masuk kerja hingga kini.
Riwayat perkembangan seksual
-Riwayat perkembangan seksual pasien secara umum baik. Pasien tertarik dengan lawan jenis.
Sikap dan Kegiatan Moral Spiritual
-Pasien beragama Islam. Sebelum sakit pasien selalu mengerjakan shalat 5 waktu dan rajin beribadah. Semenjak sakit pasien tidak melakukan shalat 5 waktu.
Riwayat Perkawinan
-Pasien belum menikah
Riwayat Kehidupan Emosional
-Sebelum sakit pasien adalah orang yang berkepribadian introvert dan pendiam.
Hubungan sosial dalam keluarga dan teman
-Hubungan pasien dengan keluarga cukup baik akan tetapi dengan teman-teman dan lingkunganya kurang akrab. Pasien terbuka terhadap kakaknya tetapi tertutup terhadap keluarga yang lainnya.
Keadaan Ekonomi
-Keadaan ekonomi keluarga menengah ke bawah.
Kesan : alloanamnesis dapat dipercaya
  1. Kesimpulan Alloanamnesis
  1. Seorang perempuan berusia 26 tahun, beragama Islam, suku Jawa, pendidikan terakhir S1. Pasien dibawa ke RSUD. Banyumas karena sering marah-marah. Suka menyanyi sendiri, suka bicara sendiri yang tidak tentu arahnya, sulit tidur, mandi berulang kali dan lama (4-5 kali sehari selama sekitar 1jam).
  2. Sebelumnya pernah dirawat di RSUD. Banyumas dengan keluhan yang sama
  3. Stressor psikososial karena tertekan dan merasa dikucilkan dengan perilaku teman-temannya yang ia anggap meremehkan perguruan tinggi tempatnya belajar dan merendahkan kemampuanya.
  1. Pemeriksaan psikiatri
  1. Kesan umum : Tampak sakit jiwa
  2. Sikap : Gelisah
  3. Tingkah laku : Hiperaktif
  4. Kesadaran : Composmentis
  5. Orientasi
  1. Waktu : Baik
  2. Orang : Baik
  3. Tempat : Baik
  4. Situasi : Buruk
  1. Proses pikir
  1. Bentuk pikir : Non realistis
  2. Isi pikir : Waham kejar, miskin isi pikir
  3. Progresi pikir : Logorhe, irrelevansi, inkoherensi
  1. Roman muka : Banyak mimik
  2. Afek : Disforik, in appropriate, eufori, irritable
  3. Persepsi : Halusinasi dengar
  4. Hubungan jiwa : Mudah ditarik, sukar dicantum
  5. Insight : Kurang
  1. Sindrom-Sindrom
  1. Sindrom Psikotik
  1. Non realistis
  2. Waham kejar, miskin isi pikir
  3. Halusinasi dengar
  4. Inkoherensi
  1. Afek Manik
  1. Eufori
  2. Hiperaktif
  3. Logorhe
  1. Diagnosis Klinis
Axis I : Skizoafektif tipe manik
Axis II : Kepribadian introvert
Axis III : Tidak ada kelainan organik
Axis IV : Masalah di lingkungan pekerjaan yang mengucilkan dirinya dengan menganggap remeh perguruan tinggi tempatnya berasal serta kemampuan dirinya.
Axis V : GAF 50-41

VII. Diagnosis Banding
  1. Psikotik akut
  2. Skizofrenia Paranoid

VIII. Rencana Terapi
  1. Terapi organobiologik
  1. Farmakologis:
Alprazolam 3 x 0,25-0,5 mg/hari
Risperidon 2 mg 2 kali sehari
Trihexyphenidil 2 mg 2 kali sehari
  1. ECT
  1. Psikoterapi supportif
  1. Selain itu juga diberikan psikoterapi suportif dan terapi keluarga berupa edukasi kepada keluarga untuk lebih memaklumi kondisi pasien sehingga tidak terlalu memberikan beban pikiran terhadap pasien, berlaku baik dan tidak kasar ataupun keras.
  2. Tiap anggota keluarga harus menunjukkan kasih sayang mereka kepada pasien agar pasien tidak merasa sendiri dan dikucilkan
  1. Sosioterapi
Manipulasi lingkungan sosial pasien dengan cara keluarga membantu memberi penjelasan kepada orang-orang di lingkungan pasien untuk tidak menganggap pasien sebagai orang sakit jiwa. Memberi penjelasan kepada tetangga untuk tidak memberi tekanan atau hal-hal yang dapat mencetuskan kekambuhanya. Hal ini diharapkan untuk membantu kesembuhan pasien.

IX. Prognosis
PREMORBID
PROGNOSIS
Riwayat Penyakit Keluarga
Ada
Buruk
Pola Asuh Keluarga
Demokratis
Baik
Kepribadian Premorbid
Tertutup
Buruk
Stressor Psikososial
Ada
Buruk
Sosial Ekonomi
Kurang
Buruk
Riwayat Penyakit yang sama
Ada
Buruk


MORBID
Prognosis
Onset usia dewasa muda
Ya
Baik
Jenis Penyakit
Skizoafektif tipe manik
Buruk
Perjalanan Penyakit
Kronis
Buruk
Kelainan Organik
Tidak ada
Baik
Respon Terapi
Belum dapat ditemukan
Dubia

Kesimpulan: Dubia ad Malam




Kamis, 24 Maret 2011

Ultrasonografi Intraoperasi Pada Hepar Pasien Penderita Tumor Abdomen

REFERAT
REFERAT

Ultrasonografi Intraoperasi Pada Hepar Pasien Penderita Tumor Abdomen










Dosen Pembimbing:
Dr. Markus Budi Rahardjo, Sp. Rad


Disusun Oleh:
Radietya Alvarabie
Rendi Retissu
Rois Hasyim



FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2010 
 
Ultrasonografi Intraoperasi Pada Hepar Pasien Penderita Tumor Abdomen

Abstrak:
Tujuan: Membandingkan USG intraoperasi (Intraoperattive Ultrasonography (IOU)) pada hati, Computed Tomography (CT), USG pra operasi, dan inspeksi dan palpasi intraoperasi pada deteksi lesi hepatic pada pasien dengan tumor abdomen. Metode: Studi prospektif yang melibatkan 60 pasien dengan tumor abdomen yang diperiksa dengan USG, CT, inspeksi dan palpasi, dan IOU hepatic selama dilakukan eksplorasi dengan laparotomi. Sensitifitas, spesifisitas, dan harga prediksi positif dan negative untuk semua metode dihitung. Persetujuan dari metode dengan hasil histopatologis dihitung dengan K statistik dan Koefisien Spearman. Hasil: Dari 60 pasien, 49 (81,6%) didapatkan positif dengan lesi hepatik. Lesi tidak bisa dihitung pada 3 pasien. 46 kasus didiagnosis melalui pemeriksaan histologis. Sensitifitas, spesifisitas, dan harga prediksi positif dan negatif adalah 42,9%, 88,9%, 90%, dan 40% untuk USG; 59,5%, 77,8%, 86,2%, dan 45,2% untuk CT; 69%, 88,9%, 93,5%, dan 55,2% untuk inspeksi dan palpasi; dan 90,5%, 77,8%, 90,5%, dan 77,8% untuk IOU, dengan pemeriksaan histologis digunakan sebagai standar kriteria. Keseimbangan untuk persetujuan yang moderat ditemukan untuk USG, CT, dan inspeksi dan palpasi (K=0,24; 0,31; dan 0,49; dengan respektif). Persetujuan yang substansial ditemukan untuk IOU (K=0,98). Perubahan pada strategi membedah ditemukan pada 19 (41,3%) dari 46 kasus dengan penemuan positif. Kesimpulan: Sensitifitas yang tinggi berhubungan dengan persetujuan substansial dengan penemuan histopatologis yang menunjukan IOU adalah metode pengukuran yang tidak tertolerir skrining hepatik pada pasien dengan tumor abdomen yang sedang dilakukan laparotomi dan selanjutnya menjadi prosedur rutin bila tersedia. Kata Kunci: Diagnosis, tumor hepatik, periode intraoperasi, palpasi, sensitifitas, prosedur panduan sonografikal, spesifisitas, computed tomography sinar x.




Pendahuluan
Beberapa studi telah mengukur akurasi dari IOU (Intraoperative Ultrasonography) dan membandingkanya dengan metode pencitraan lain untuk mendeteksi metastasis dari lesi hepatik pada pasien dengan tumor colorectal. Studi terkini telah melaporkan hasil yang sempurna untuk IOU sebagai metode diagnostik, dengan rentang sensitifitas dari 92,3% sampai 98% dan spesifisitas sekitar 95%. IOU juga telah digunakan sebagai standar kriteria pada beberapa studi yang mengevaluasi teknik pencitraan pra operasi untuk mendeteksi lesi hepatik sekunder pada tumor colorectal.
Pada waktu yang bersamaan, kami berpikir bahwa determinasi dari persetujuan antara perbedaan metode pencitraan dalam mendeteksi lesi hepatik yang dapat diukur dengan statistik K dan koefisien Spearman, mungkin memberikan informasi berharga untuk membandingkan metode ini. Untuk pengetahuan kita, persetujuan tidak bisa dihitung pada studi yang telah mengevaluasi kegunaan metode pencitraan pada lesi hepatik.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengukur metode pencitraan pra operasi (USG dan CT) dan metode intraoperasi (inspeksi dan palpasi dan IOU) untuk deteksi lesi hepatik pada pasien dengan tumor abdomen yang tidak terpengaruh dari penyakit utamanya. Statistik K dan koefisien Spearman digunakan untuk mendeterminasikan persetujuan dari metode pencitraan ini (USG, CT, dan IOU) dan palpasi intraoperasi dalam mendeteksi lesi hepatik. Sensitifitas dan spesifisitas juga dihitung untuk tiap metode.

Metode dan Bahan
Prosedur Klinis
Kami mengumpulkan studi prospektif dari Januari 2000 sampai Maret 2003 mencakup 60 pasien dengan tumor abdomen. Pasien yang akan menjalani USG pra operasi dan kontras untuk penyangatan CT dan IOU dan inspeksi dan palpasi selama laparotomi eksplorasi untuk investigasi lesi hepatik, ganas atau jinak. Semua pasien yang akan menjalani terapi bedah dari fokus neoplasma primer mereka, irisan diambil dari lesi hepatik yang terdiagnosis metastasis selama masa pra operasi mereka, atau kedua-duanya. Dari 60 kasus yang tercakup dalam penelitian, 37 (60,7%) adalah tumor colorectal primer; 6 (9,8%) adalah tumor duktus biliaris, 4 (6,5%) adalah tumor pankreas, 3 (4,9%) adalah tumor lambung, 2 (3,3%) adalah tumor jaringan lunak, 1 (1,6%) adalah tumor paru, 1 (1,6%) adalah tumor payudara, 1 (1,6%) adalah tumor retroperitoneal, dan 1 (1,6%) adalah tumor ginjal. Dua puluh delapan pasien adalah laki-laki dan rata-rata umurnya adalah 60 tahun (rentang 38-80 tahun). Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik dari institusi tempat penelitian ini dilaksanakan. Lembar informed consent ditandatangani oleh semua pasien termasuk anggota keluarga mereka.
Ahli radiologi berpengalaman yang kualifikasinya ekivalen dengan sertifikasi dari Badan Radiologi Amerika, melaksanakan pemeriksaan CT pada penelitian ini. Tiga ahli CT Scan Spiral menggunakan: Elscint Twin (Elscint, Hifa, Israel), Shimadzu SCT 700-TS (Shimadzu, Kyoto, Japan), and Picker PQ 2000 (Picker Medical Imaging, Cleveland, OH).
Seratus sampai 120 mL dari agen kontras (Omnipaque [iohexol]; Amersham Health, Princeton, NJ) diberikan via pompa infus dengan kecepatan 3mL/s; fase arteri diberikan 20-30 detik setelah infus, dan fase vena porta diberika 50-70 detik setelah infus. Setelah injeksi agen kontras selesai, fase scan tertahan setelah sekitar 90 detik berjalan untuk mendeteksi kemungkinan kontras tumor tertahan. Interval rekonstruksi sekitar 5mm per putaran penuh dan ketukan ke-5. Penelitian sonografi pra operasi menunjukkan HDI 3000 color Doppler scanner (Philips Medical System, Bothel, WA) dengan 3,5-5,0 MHz lebar pita transducer konveks. Pasien dipuasakan sekitar 10 jam sebelum pemeriksaan. Pandangan sub kosta dan inter kosta dari kuadran kanan atas dari abdomen diambil untuk mengukur ekstensi penuh dari parenkim hepar untuk mengidentifikasi dari semua segmen anatomi yang dideskripsikan oleh Couinaud.
Selama pembedahan, inspeksi dan palpasi hepar adalah prosedur pemeriksaan rutin untuk mendeteksi lesi hepatik yang timbul. Semua area hepar yang terlihat diinspeksi setelah hepar dimobilisasi dengan diseksi ligamentum falciformis. Semua permukaan hepar dipalpasi untuk mengidentifikasi lesi superfisial sesuai dengan parameter anatomik yang dideskripsikan oleh Couinaud.
Penelitian IOU menggunakan HDI 3000 color Doppler scanner dengan 2 yang terhubung dengan konveks intraoperasi dan linear array 4- to 8- dan 5- to 9- MHz transducers. Pemeriksaan sonografi sistematis diselesaikan dengan pencitraan Doppler berwarna yang tidak pernah bisa mengidentifikasi tumor. Pandangan transversal dan longitudinal dari semua segmen anatomi hepar, percabangan porta intrahepatik, vena suprahepatik, kandung kemih, dan hilus portal didapatkan, dan hepar yang termobilisasi tidak pernah menunjukan tanda-tanda klinis yang bermakna. Segmen hepatik tempat lesi ditemukan dan hubunganya dengan pembuluh darah yang diukur. Baik USG maupun IOU diukur oleh klinisi dengan kualifikasi yang ekivalen dengan sertifikasi oleh Badan Radiologi Amerika. Semua lesi akan dibiopsi yang rata-rata menggunakan biopsi bedah atau inti dan bahan-bahan yang didapat dikirim untuk pemeriksaan histologis.
Pasien yang tanpa lesi diidentifikasi secara prospektif, diikuti dengan konsultasi setiap 3 bulan selama tahun pertama setelah dilakukan prosedurnya. Selama follow up, pasien menjalani pemeriksaan USG. Jika lesinya terdeteksi atau jika penanda tumornya meningkat, studi USG dikomplementasikan dengan studi CT.
Studi ini juga dievaluasi jika IOU terdeterminasi berubah pada sebelum penetapan strategi pembedahan yang bergantung dari USG dan CT pra operasi.

Analisis Statistik
Sensitifitas, spesifisitas, dan harga prediksi positif dan negatif dalam mendeteksi lesi hepatik dihitung untuk USG pra operasi dan penyangatan kontras CT dan palpasi hepatik intraoperasi dan USG oleh EpiInfo 6.04 (Centers for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA). Persetujuan dari pemeriksaan palpasi dan pencitraan dengan penemuan histopatologis diukur dengan statistik K dengan SPSS 11.0 (SPSS Inc, Chicago, IL), dan kekuatan dari persetujuan diklasifikasikan berdasarkan metode Landis dan Koch. Perbandingan setiap lesi yang ditampilkan antara semua metode dievaluasi dan hasil histologisnya dengan koefisien Spearman.

Hasil
Sedikitnya 1 metode menunjukkan lesi pada 49 (81,6%) dari 60 pasien. Ada 11 pasien yang akan diskrining untuk lesi hepatik selama terapi pembedahan dari fokus penyakit utamanya, semuanya didapat hasil yang negatif. USG pra operasi menunjukkan lesi pada 40 pasien, CT menunjukkan lesi pada 45 pasien, inspeksi dan palpasi menunjukan lesi pada 42, dan IOU menunjukan lesi pada 47. Jumlah dari lesi ditunjukkan oleh setiap metode yang didapat: USG 57 lesi pada 37 pasien, CT 63 lesi pada 42 pasien, inspeksi dan palpasi 82 lesi pada 39 pasien, dan IOU 121 lesi pada 44 pasien. Lesi hepatik tidak bisa dihitung oleh metode pencitraan dan palpasi yang lain pada 3 pasien dengan jumlah metastasis yang tidak dapat diiris yang banyak dan ekstensif.
Dari semua 46 kasus (100%) yang akan menjalani biopsi didiagnosis dengan studi histologis. Pada 1 kasus, diagnosis histologis tidak dapat disimpulkan dengan biopsi inti panduan IOU tetapi dapat terkonfirmasi sebagai adenocarcinoma metastasis setelah biopsi eksisi.
Dari hasil diagnosis di atas didapatkan: 34 (73,9%) metastasis adenocarcinoma, 2 (4,3%) metastasis sarcoma, 1 (2,2%) carcinoid tumor, 1 (2,2%) epithelioid hemangioendothelioma, 1 (2,2%) hepatocarcinoma, 1 (2,2%) metastasis karsinoma duktus dari payudara, 1 (2,2%) leiomyosarcoma, 1 (2,2%) cholangiosarcoma, dan 4 lesi jinak termasuk 1 (2,2%) hiperplasi nodular fokal, 1 (2,2%) jaringan normal diantara jaringan patologis (Penyakit Wilson), 1 (2,2%) lesi sistikus, dan 1 (2,2%) hemangioma. Waktu rata-rata dari studi pencitraan pra operasi sampai ke operasi sekitar 42,5 hari (rentang 15-90 hari).
Tabel 1 menunjukkan data tentang penghitungan lesi hepatik dengan metode pencitraan dan palpasi. Sensitifitas, spesifisitas, harga prediksi positif dan negatif, dan statistik K dengan penggunaan hasil histologis sebagai standar kriteria ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 3 menunjukkan data tentang hubungan antara jumlah lesi yang terdeteksi oleh setiap metode dengan negatif asli dan negatif palsu dan harga positif. Grafik 1 menunjukkan koefisien Spearman dan grafik regreasi linear tentang jumlah lesi antara penemuan histopatologis dan setiap metode.
Perubahan pada strategi pembedahan yang dibuat pada 19 dari semua kasus dihitung, yang berhubungan 31,6% dari semua kasus dan 41,3% dari 46 kasus dengan hasil positif.

Diskusi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kemampuan diagnostik dari IOU dalam mendeteksi lesi hepatik, jinak atau ganas, pada pasien dengan tumor abdomen yang terbebas (tidak berhubungan) dari fokus penyakit primernya. Kami juga membandingkan kemampuan IOU dengan metode pencitraan lain: pra operasi USG, CT, dan palpasi intraoperasi. USG intraoperasi menunjukkan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi lesi hepatik dan memiliki hubungan yang substansial ketika dihubungkan dengan hasil histopatologis. Pada kasus kami 38,3% didapatkan tumor yang tidak asli berasal dari colorectal. Penemuan kami menunjukkan satu kesepakatan dengan hasil yang dilaporkan pada penelitian terbaru yang mengukur lesi hepatik pada tumor colorectal dan menunjukkan IOU sebagai metode dengan sensitifitas yang besar saat digunakan untuk mengukur lesi hepatik sekunder dari lesi asli lainnya selain colorectal.
Hubungan antara hasil histopatologis dikalkulasikan dengan statistik K dan koefisien korelasi yang menyediakan analisis dari efisiensi diagnosis aktual setiap metode pencitraan, yang independen dengan analisis lain sebelumnya. Hubungan substansial antara IOU dan penemuan histopatologis ketika dibandingkan dengan hasil perhitungan dari metode lain., diukur dengan statistik K, menunjukkan bahwa IOU adalah metode pencitraan yang lebih baik untuk mendeteksi lesi hepatik yang tidak terlihat (contoh: metode pra operasi yang tidak teridentifikasi). Penemuan kami mengkonfirmasi bahwa hasil dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan IOU adalah pemeriksaan yang paling adekuat yang mendeteksi nodul hepatik. Tiga analisis statistik digunakan pada penelitian kami (mendeterminasi sensitifitas, spesifisitas, dan harga prediksi positif dan negatif dan kalkulasi dengan statistik K dan koefisien Spearman) menunjukkan bahwa IOU adalah metode dengan kapasitas terbesar yang menunjukkan lesi hepatik.
Dua kasus pada ilustrasi penelitian kami menunjukkan kelebihan dari penggunaan IOU untuk mendeteksi lesi hepatik sebaik perawatan utama yang seharusnya diberikan ketika dilakukan pemeriksaan ini. Pada kasus pertama CT pra operasi mengidentifikasi lesi yang diperkirakan berasal dari metastasis hepatik yang berasal dari pankreas. Pengukuran intraoperasi dengan IOU bagaimanapun menyatakan bahwa lesi adalah kista yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologis dengan biopsi yang dipandu dengan IOU. Pada kasus yang lain, pemeriksaan pra operasi diyakini bahwa terdapat 3 tumor. Faktanya, terdapat kasus penyakit hepatik difus (penyakit Wilson) dan pemeriksaan histologis dari spesimen yang berasal dari jaringan normal dengan jaringan patologis. Hasilnya adalah positif palsu dari kasus pemeriksaan pencitraan pra operasi dan intraoperasi karena USG dan CT sebaik IOU menunjukkan 3 nodul patologis. Inspeksi, palpasi, dan penemuan videolaparoskopi, bagaimanapun hasilnya negatif. Juga biopsi dengan panduan IOU menunjukkan pada intraoperasi hasil yang negatif dalam menemukan nodul. Teknik yang digunakan untuk IOU kadang sulit untuk dilakukan untuk mengidentifikasi lesi yang sangat superfisial yang kecil (<1cm) dan ketika hepar tidak dapat dimobilisasi. Frekuensi transducer yang lebih tinggi (11-13 MHz) seharusnya digunakan untuk mengidentifikasi tumor ini. Lebih lanjut, tekanan dari arkus kosta yang berlebihan dengan menggunakan tangan sebagai operator ketika memeriksa hepar yang tidak mobilemenampilkan pemosisian yang adekuat dari zona fokal dan merumitkan penelitian permukaan hepar ketika lesinya kecil dan superfisial sebaik ketika lesinya terlokasi pada blind area dari hepar, misal dibawah ligamentum triangularis dan ligamentum koronarius. Ini mungkin menjelaskan bahwa mengapa beberapa lesi lebih terakurat bila didiagnosis dengan inspeksi dan palpasi.
Rata-rata perubahan pada strategi pembedahan mengacu kepada informasi yang didapat dari IOU amatlah besar pada penelitian ini (31,6%; Grafik 2), dan 97,8% dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh biopsi dengan panduan IOU telah digunakan pada 1 kasus dengan hasil histologis yang disimpulkan hanya setelah biopsi eksisi (metastatic adenocarcinoma). Hasil ini menunjukkan keuntungan dari metode ini pada prosedur intraoperasi dan kontribusi ini membuat kebertahanan lebih baik dari pasien-pasien ini.
Sebagai tambahan bagi efisiensi diagnosis ini, IOU alat yang tidak tertoleransi bagi para ahli bedah. Ia memberikan informasi karakteristik tekstur dari lesi, hubungan vaskularisasinya, dan variasi pemetaan anatominya. Ini membimbinga untuk membuat irisan pada kapsul Glisson, biopsi, prosedur jarum halus, dan pada akhirnya ia meyakinkan bahwa batas adekuat adalah pergeseran reseksi tumor.
Hanya beberapa penelitian yang sebelumnya menentukan kapasitas IOU yang menunjukkan nodul hepatik yang independen dari fokus utama. Pada penelitian ini kami menemukan bahwa kemampuan IOU dalam mendeteksi lesi hepatik yang sama yang telah ditemukan pada penelitian yang mengukur metastasis dari kanker colorectal. Sensitifitas yang tinggi dan spesifisitas berhubungan dengan persetujuan substansial dengan hasil histopatologis, dihitung dengan statistik K dan koefisien Spearman, menunjukkan bahwa IOU adalah metode pengukuran yang tidak tertoleransi untuk pasien dengan tumor abdomen yang akan mengalami laparotomi dan seharusnya menjadi pemeriksaan rutin bila tersedia.


Grafik 1. Grafik koefisien Spearman dan regresi linear untuk lesi yang dideteksi antara penemuan histopatologis dan setiap metode: USG, CT, inspeksi dan palpasi (IP), dan IOU.































Gambar 1. A. Tumor colorectal pada pasien perempuan. Pemeriksaan pra operasi dan intraoperasi mendapatkan nodul metastasis tetapi pada pemeriksaan USG pra operasi tidak menunjukan segmentasi dan lokasi CT pada segmen V.
















Gambar 1. B. Inspeksi dan palpasi.










Gambar 1. C. IOU melokalisir nodul pada segmen IVa dan IVb dan menunjukkan bahwa ini lebih besar dari yang ditunjukkan oleh studi CT, sehingga merubah strategi bedah yang awalnya akan dilakukan.



























DAFTAR PUSTAKA


  1. Machi J, Isomoto H, Kurohiji T, et al. Akurasi dari USG intraoperasi dalam mendiagnosis metastasis kanker colorectal di hepar: Evaluasi dari hasil follow up pasca operasi. World J Surg 1991; 15:551-557.
  2. Cervone A, Sardi A, Conaway GL. USG intraoperasi sebagai manajemen yang penting dalam lesi hati akibat metastasis colorectal. Am Surg 2000; 66:611-615.
  3. Ozsunar Y, Skjoldbay B, Court-Payen M, Karstrup S, Bucharth F. Dampak dari USG intraoperasi pada pembedahan untuk terapi hepar. Acta Radiol 2000; 41:97-101.
  4. Schmidt J, Strotzer M, Fraunhofer S, Boedeker H, Zirngibl H. USG intraoperasi versus helical CT dan CT dengan arterioportografi dalam mendiagnosis metastasis hati dari colorectal: analisis lesi per lesi. World J Surg 2000; 24:43-47.
  5. Schneider F, Chapuis L, Gillet M, Leyvraz S, Schnyder P, Meuli R. Deteksi lesi hepatik fokal ganas: perbandingan USG, CT selama portografi arterial, CT tertunda, dan MRI. Gastroenterol Clin Biol 1999; 23:105-113.
  6. Zacherl J, Pokieser P, Wrba F, et al. Akurasi dari CT helical multifase dan sonografi intraoperasi pada pasien yang akan menjalani transplantasi hati orthotopic karena hepatoma: apa kebenaranya? Ann Surg 2002; 235:528-532.
  7. Vogl TJ, Schwarz W, Blume S, et al. Evaluasi pra operasi pada tumor hati ganas: perbandingan antara metode tanpa penyangatan dan SPIO (Resovist)-dengan penyangatan MRI dangan bifasik CTAP dan USG intraoperasi. Eur Radiol. 2003; 13:262-272.
  8. Conlon R, Jacobs M, Dasgupta D, Lodge JP. Harga USG intraoperasi selama pengirisan hepar dibandingkan dengan peningkatan MRI pra operasi. Eur J Ultrasound 2003; 16:211-216.
  9. Couinaud C. Lobus pada segmen hepar: catatan bentuk anatomi pada pembedahan. Presse Med 1954; 62:709-712.
  10. Landis RJ, Koch GG. Persetujuan pengukuran dan observasi untuk pengkategorian data. Biometrics 1977; 33:159-174.
  11. Bloed W, Van Leeuwen MS, Borel Rinkes IH. Peran USG intraoperasi pada hepar dalam peningkatan pencitraan pra operasi pada hepar. Eur J Surg 2000; 166:691-695.
  12. Correia MM, Santos CER, Mello ELR. USG intraoperasi. In: Correia MM, Mello ELR, Santos CER (eds). Pembedahan pada kanker hepatobilier. 1st ed. Rio de Janeiro, Brazil: Editora Revinter; 2003:224-238.
  13. Gozzetti G, Mazziotti A, Bolondi L, et al. USG intraoperasi pada pembedahan tumor hepar. Surgery 1986; 99:523-530.
  14. Kane RA, Hughes LA, Cua EJ, Steele GD, Jenkins RL, Cady B. Dampak USG intraoperasi pada pembedahan neoplasma hepar. J Ultrasound Med 1994; 13:1-6.
  15. Luck AJ, Maddern GJ. USG intraoperasi abdomen. Br J Surg 1999; 86:5-16.
  16. Machi J, Uchida S, Sumida K, et al. Pembimbing USG dengan ablasi panas radiofrekuensi pada tumor hepar: perkutan, laparoskopi, dan pendekatan bedah terbuka. J Gastrointest Surg 2001; 5:477-489.
  17. Takigawa Y, Sugawara Y, Yamamoto J, et al. Lesi baru yang dideteksi dengan menggunakan USG intraoperasi selama pengirisan hepar pada karsinoma hepatoseluler. Ultrasound Med Biol 2001; 27:151-156.